Karinding, Seni Sunda Yang Menggeliat
Pada
awalnya saya mengenal alat musik sunda itu, suling, gamelan, calung,
angklung dan kendang. Ternyata masih banyak khazanah kesenian dan
alat-alat musik sunda yang beredar tetapi tidak terpublikasi dan tidak
diajarkan sewaktu sekolah. Namanya Karinding, teman saya punya group
musik ‘Karinding Attack” yang underground dan lumayan keren.
Karinding sendiri adalah alah yang terbuat dari kayu, ukurannya kecil
mungkin sebesar pulpen atau lebih. Dibunyikannya dengan meniup dan
menggerakan bagian ujung.
Untuk yang pertama kalinya saya mendengarkan langsung pementasan seni karinding di acara diskusi seni dan lingkungan yang paradoks pada 28 April 2010 di Museum Barli, Bandung. Dua kelompok seni karinding yang menampilkan dan membuat saya takjub. Keduanya memberikan saya fenomena baru dalam dunia musik tradisional.
Pada penampil pertama, yang menyajikannya dari Lembang. Saya tidak mencatat namanya, tetapi tahu asal mereka dari Lembang. Penampil pertama ini sangat sunda buhun. Membawa ‘harimau’ dan dupa yang dibakar. Liriknya juga rada-rada kesundaan baheula banget. Sangat tradisional dan sunda pisan. Dandannya jangan ditanya, kalau sunda pisan berarti lengkap antara baju pangsi, iket, kantong yang terbuat dari rami.
Penampil kedua dari Mahasiswa, uniknya ada perempuan dan tambahan alat musik yang ditiup yaitu suling dan satu lagi saya tidak tahu namanya, yang pasti seperti alat musik yang bisa menirukan bunyi burung berkicau, kalau ke Taman Wisata Alam Tangkubanparahau banyak penjualnya.
Kelompok Karinding sekarang semakin bertebaran. Saya ingat bahwa Dadang Hermawan yang terkenal dengan nama Utun, ketua FK3I Jabar, tokoh gerakan lingkungan dan seni sunda membawa Karinding pada ranah musik alternatif. Dengan kelompoknya bernama ‘Karinding Attack‘, Dadang sudah tampil dibeberapa even musik di Kota Bandung. Salahsatunya ketika pergelaran musik Underground, ‘karinding attack’ menyerang dari sisi lain. Ditengah musik-musik cadas, karinding attack muncul. Saya salut pada perjuangan Dadang ‘utun’ dalam mengkampanyekan seni sunda, kearifan lingkungan. Maju terus, Karinding! Yuuu mari kita ngarinding bareng!
Untuk yang pertama kalinya saya mendengarkan langsung pementasan seni karinding di acara diskusi seni dan lingkungan yang paradoks pada 28 April 2010 di Museum Barli, Bandung. Dua kelompok seni karinding yang menampilkan dan membuat saya takjub. Keduanya memberikan saya fenomena baru dalam dunia musik tradisional.
Pada penampil pertama, yang menyajikannya dari Lembang. Saya tidak mencatat namanya, tetapi tahu asal mereka dari Lembang. Penampil pertama ini sangat sunda buhun. Membawa ‘harimau’ dan dupa yang dibakar. Liriknya juga rada-rada kesundaan baheula banget. Sangat tradisional dan sunda pisan. Dandannya jangan ditanya, kalau sunda pisan berarti lengkap antara baju pangsi, iket, kantong yang terbuat dari rami.
Penampil kedua dari Mahasiswa, uniknya ada perempuan dan tambahan alat musik yang ditiup yaitu suling dan satu lagi saya tidak tahu namanya, yang pasti seperti alat musik yang bisa menirukan bunyi burung berkicau, kalau ke Taman Wisata Alam Tangkubanparahau banyak penjualnya.
Kelompok Karinding sekarang semakin bertebaran. Saya ingat bahwa Dadang Hermawan yang terkenal dengan nama Utun, ketua FK3I Jabar, tokoh gerakan lingkungan dan seni sunda membawa Karinding pada ranah musik alternatif. Dengan kelompoknya bernama ‘Karinding Attack‘, Dadang sudah tampil dibeberapa even musik di Kota Bandung. Salahsatunya ketika pergelaran musik Underground, ‘karinding attack’ menyerang dari sisi lain. Ditengah musik-musik cadas, karinding attack muncul. Saya salut pada perjuangan Dadang ‘utun’ dalam mengkampanyekan seni sunda, kearifan lingkungan. Maju terus, Karinding! Yuuu mari kita ngarinding bareng!
ASAL MULA-NYA KARINDING
Awalnya karinding adalah alat yang digunakan oleh para
karuhun untuk mengusir hama di sawah—bunyinya yang low decible sangat
merusak konsentrasi hama. Karena ia mengeluarkan bunyi tertentu, maka
disebutlah ia sebagai alat musik. Bukan hanya digunakan untuk
kepentingan bersawah, para karuhun memainkan karinding ini dalam ritual atau upaca adat. Maka tak heran jika sekarang pun karinding masih digunakan sebagai pengiring pembacaan rajah. Bahkan, konon, karinding
ini digunakan oleh para kaum lelaki untuk merayu atau memikat hati
wanita yang disukai. Jika keterangan ini benar maka dapat kita duga
bahwa karinding, pada saat itu, adalah alat musik yang
popular di kalangan anak muda hingga para gadis pun akan memberi nilai
lebih pada jejaka yang piawai memainkannya. Mungkin keberadaannya
saat ini seperti gitar, piano, dan alat-alat musik modern-popular saat
ini.
Beberapa sumber menyatakan bahwa karinding telah ada bahkan sebelum adanya kecapi. Jika kecapi telah berusia sekira lima ratus tahunan maka karinding diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan ternyata karinding pun bukan hanya ada di Jawa Barat atau priangan saja, melainkan dimiliki berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku di bangsa lain pun memiliki alat musik ini–hanya berbeda namanya saja. Di Bali bernama genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp ( harpanya dewa Zues). Dan istilah musik modern biasa menyebut karinding ini dengan sebutan harpa mulut (mouth harp). Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan di sentir), di tap ( dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan benang. Sedangkan karinding yang di temui di tataran Sunda dimainkan dengan cara di tap atau dipukul.
Material yang digunakan untuk membuat karinding (di wilayah Jawa Barat), ada dua jenis: pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan dan jenis disain bentuk karinding ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan gender pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai susuk sanggul, ini untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di tancapkan disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau. Tetapi juga sebagai perbedaan tempat dimana dibuatnya, seperti di wilayah priangan timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena bahan ini menjadi bagian dari kehidupannya.[1
Karinding umumnya berukuran: panjang 10 cm dan lebar 2 cm. Namun ukuran ini tak berlaku mutlak; tergantung selera dari pengguna dan pembuatnya—karena ukuran ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bunyi yang diproduksi.
Karinding terbagi menjadi tiga ruas: ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karindingdiketuk dengan jari. Dan ruas ke tiga (paling kiri) berfungsi sebagai pegangan.
Cara memainkan karinding cukup sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, lalu memukul atau menyentir ujung ruas paling kanan karinding dengan satu jari hingga “jarum” karinding pun bergetar secara intens. Dari getar atau vibra “jarum” itulah dihasilkan suara yang nanti diresonansi oleh mulut. Suara yang dikeluarkan akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan lidah. Secara konvensional—menurut penuturan Abah Olot–nada atau pirigan dalam memainkan
Beberapa sumber menyatakan bahwa karinding telah ada bahkan sebelum adanya kecapi. Jika kecapi telah berusia sekira lima ratus tahunan maka karinding diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan ternyata karinding pun bukan hanya ada di Jawa Barat atau priangan saja, melainkan dimiliki berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku di bangsa lain pun memiliki alat musik ini–hanya berbeda namanya saja. Di Bali bernama genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp ( harpanya dewa Zues). Dan istilah musik modern biasa menyebut karinding ini dengan sebutan harpa mulut (mouth harp). Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan di sentir), di tap ( dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan benang. Sedangkan karinding yang di temui di tataran Sunda dimainkan dengan cara di tap atau dipukul.
Material yang digunakan untuk membuat karinding (di wilayah Jawa Barat), ada dua jenis: pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan dan jenis disain bentuk karinding ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan gender pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai susuk sanggul, ini untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di tancapkan disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau. Tetapi juga sebagai perbedaan tempat dimana dibuatnya, seperti di wilayah priangan timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena bahan ini menjadi bagian dari kehidupannya.[1
Karinding umumnya berukuran: panjang 10 cm dan lebar 2 cm. Namun ukuran ini tak berlaku mutlak; tergantung selera dari pengguna dan pembuatnya—karena ukuran ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bunyi yang diproduksi.
Karinding terbagi menjadi tiga ruas: ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karindingdiketuk dengan jari. Dan ruas ke tiga (paling kiri) berfungsi sebagai pegangan.
Cara memainkan karinding cukup sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, lalu memukul atau menyentir ujung ruas paling kanan karinding dengan satu jari hingga “jarum” karinding pun bergetar secara intens. Dari getar atau vibra “jarum” itulah dihasilkan suara yang nanti diresonansi oleh mulut. Suara yang dikeluarkan akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan lidah. Secara konvensional—menurut penuturan Abah Olot–nada atau pirigan dalam memainkan