Rhoma Irama Yakin Dangdut Bisa Mengalahkan Gangnam Style
Dunia benar-benar sedang dilanda
demam “Gangnam Style.” Tapi, si Raja Dangdut Rhoma Irama malah tidak
tahu apa itu Gangnam Style? Ini kisah dan ulasannya.
Di seluruh dunia; mulai dari anak-anak
sampai orang tua, dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, dari
masyarakat sipil sampai militer dan politikus dunia (misal, Sekjen PBB Ban Ki-moon, PM Inggris David Cameron, Presiden AS Obama),
dari orang awam sampai penyuka musik, bahkan artis penyanyi kelas dunia
semacam Madonna dan Britney Spears, bintang Hollywood seperti Tom
Cruise, Katy Perry dan Robbie Williams, semuanya terkena virus Gangnam
Style. Lima benua sudah terjangkit virus Gangnam Style.
Pembawa virus itu, pemilik lagu dan
tarian kuda, “Gangnam Style,” rapper dari Korea Selatan Park-Jae Sang,
atau populer dengan nama artisnya Psy juga telah memecah berbagai rekor
dunia di bidang musik. Guinnes World Record pada 20 September 2012
mengumumkan di lamannya, Gangnam Style telah memecahkan rekor di Youtube sebagai yang paling banyak disukai dengan angka 2.141.758 kali (terakhir tulisan ini dibuat angka tersebut telah mencapai 5.464.955 kali).
Perkembangan sampai saat ini adalah
rekor fantastis PSY dengan “Gangnam Style”-nya itu, di Youtube telah
mencapai angka dilihat sebanyak 826.061.391 kali! Mengalahkan “Baby”-nya
Justin Bieber, yang 805.287.672 kali. “Koling-kloning” Gangnam Style
pun dilihat belasan juta sampai seratusan juta kali.
Angka milik Psy dengan “Gangnam
Style” itu masih terus bergerak naik, sedangkan “Baby”-nya Justin Bieber
cenderung statis. Padahal, Psy baru mengunggah “Gangnam Style” di
Youtube pada 15 Juli 2012, atau pencapaian luar biasa tersebut hanya
dicapai dalam tempo 4 bulan! Bandingkan dengan “Baby”-nya Justin Bieber
yang diunggah pertama kali pada 19 Februari 2010. Dua tahun yang lalu.
Bukan tak mungkin “Gangnam Style” akan memecahkan rekor baru lagi di
Youtube dengan angka 1.000.000.000 kali. Ya, satu miliar kali dilihat.
Di tangga lagu-lagu Billboard di Amerika Serikat pun “Gangnam Style” berhasil masuk di dalam 10 besar lagu terlaris di Amerika Serikat di berbagai kategori. Bahkan saat ini, theme song “Skyfall” yang dibawakan oleh Adele pun kalah pamor dengan “Gangnam Style.”
Indonesia pun tidak terkecuali
telah terkena virus “Gangnam Style” ini. Menteri BUMN Dahlan Iskan tidak
terkecuali sebagai orang di Indonesia yang terkena virus ini. Tak
sungkan-sungkan dengan penuh semangat pada Jumat, 23 November lalu,
Menteri yang sedang konfrontasi dengan sejumlah anggota DPR itu
ber-gangnam style dengan ratusan masyarakat dan pegawai negeri sipil di
Cimahi, Jawa Barat. Flash Mob Gangnam Style “Jokowi-Ahok” juga sempat
meramaikan masa kampanye pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu.
Dengan entah berapa banyak lagi
prestasi Gangnam Style itu rasanya apabila ada orang yang sampai tidak
tahu apa itu Gangnam Style akan terlihat seperti “orang aneh,” atau
orang yang ketinggalan zaman, tidak mengikuti perkembangan dunia.
Apalagi kalau orang itu adalah seorang artis penyanyi papan atas.
Apalagi kalau orang itu adalah si Raja Dangdut Rhoma Irama.
Apakah memang Rhoma Irama tidak tahu apa itu Gangnam Style?
Rasanya, tidak mungkin.
Tetapi, indikasinya ada.
Tempo.co-lah
yang melaporkan bahwa kelihatannya Si Raja Dangdut itu tidak paham
dengan apa itu Gangnam Style. Tetapi, setelah diberitahu apa itu Gangnam
Style, dengan percaya diri yang berlebihan, Rhoma mengatakan yakin
dangdut bisa mengalahkan Gangnam Style.
Tempo.co
menulis pada Jumat, 23 November 2012, di acara Workshop Nominasi
Warisan Budaya Tak benda di sebuah hotel di kawasan Harmoni, Jakarta,
ketika ada wartawan yang menanyakan kepada Rhoma Irama mengenai Gangnam
Style dari Psy itu, yaitu, sejauh mana musik dangdut bisa mengalahkan
tren musik dari belahan dunia lain, termasuk Gangnam Style.
Mendengar nama “Gangnam Style”
disebut, Rhoma Irama kelihatan menjadi kikuk dan bingung. Dia terdiam
sejenak, kemudian menoleh kepada seseorang yang ada di dekatnya, dan
berbisik. Setelah orang itu menerangkan sesuatu kepada Rhoma dengan
suara berbisik pula, barulah dia menjawab pertanyaan wartawan itu.
Apakah Rhoma berbisik menanyakan orang itu, “Apa itu Gangnam Style”?
Maka, setelah dijelaskan, Rhoma
Irama pun menjawab pertanyaan: “Apakah musik dangdut bisa mengalahkan
tren musik populer dari luar negeri, termasuk Gangnam Style?” Dengan
keyakinan penuh, Rhoma menjawab, “Saya pribadi yakin bisa. Karena musik
saya (dangdut) punya karakter sendiri. Dan, bisa mengalahakan jenis
musik lain dari luar itu.”
Menurut Rhoma, musik dangdut sudah
dikenal oleh masyarakat dunia. Alasan itulah yang kemudian menjadi
keyakinan Rhoma bahwa musik asli Indonesia itu bisa bersaing dengan
produk budaya manapun. “Menurut Profesor Andrew Weintraub dalam
penelitiannya lagu-lagu dangdut dipelajari di ratusan lembaga pendidikan
musik dunia,” katanya mantap.
Tentu saja, kita mengapresiasi
kecintaan Rhoma Irama terhadap musik dangdut. Rhoma bahkan dengan penuh
semangat mengatakan siap berjuang agar musik dangdut diterima oleh
UNESCO sebagai musik dan budaya asli Indonesia. Sekali lagi, kita wajib
mengapresiasi dan mendukung upaya Rhoma tersebut.
Demikian juga kita patut mengapresiasi dan kagum terhadap penggemar Rhoma Irama yang sedang berupaya keras membangun museum khusus Rhoma Irama dengan Grup Soneta-nya.
Tetapi, bukan berarti lalu menjadi
percaya diri secara terlalu berlebihan, sehingga menjadi kelihatan tidak
rasional. Dengan mengatakan tentang keyakinannya musik dangdut bisa
mengalahkan musik-musik yang lagi ngetren di dunia, termasuk
Gangnam Style itu. Apakah realistis, kalau kita bilang kita yakin musik
dangdut akan mengalahkan kepopuleran Gangnam Style itu? Apalagi ini,
“Kita yakin Rhoma Irama dengan musik dangdutnya akan mengalahkan
kepopuleran Psy dengan Gangnam Style-nya!”
Apakah benar klaim Rhoma Irama
bahwa menurut Profesor Andrew Weintraub dalam penelitiannya lagu-lagu
dangdut dipelajari oleh ratusan lembaga pendidikan musik di dunia? Sama
dengan klaimnya di Berita Petang, TV One, pada 15 November 2012
bahwa menurut William H. Fredrick, seorang dosen dari Ohio University,
Amerika Serikat, Rhoma Irama itu berbeda dengan Mick Jagger. Mick Jagger
hanya punya penggemar, sedangkan Rhoma Irama punya pengemar dan
pengikut!
Kalau memang benar begitu, seharusnya sejak dulu Rhoma Irama sudah lebih terkenal daripada Mick Jagger di dunia.
Professor Andrew N. Weintraub Phd
adalah seorang profesor dari Departement of Music, University of
Pittsburgh, AS. Dia memang spesialis peneliti soal musik dan budaya di
Asia Tenggara, termasuk Indonesia dengan musik, wayang dan gamelannya.
Bahkan dia pernah menerbitkan buku hasil penelitiannya tentang musik
dangdut di Indonesia, yang antara lain berisi wawancara dengan Rhoma
Irama, dan Elvy Sukaesih. Judulnya, Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music. Terjemahan bahasa Indonesia-nya diterbitkan oleh Penerbit Gramedia pada 2012 dengan judul Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia.
National Geographic
pernah menulis tentang hasil penilitian Profesor Weintraub tentang
musik dangdut ini. Di dalamnya, antara lain Weintraub mengatakan bahwa
musik dangdut tidak berbeda dengan musik lain, yang tetap dapat
berproses mengikuti perubahan selera di masyarakat sehingga menuntut
ide-ide kreatif bagi seniman dangdut.
Dalam salah satu kesimpulannya Weintraub mengakui kepopuleran
dangdut sebagai musik orang Indonesia, namun dia mempertanyakan dangdut
sebagai musik nasional. Alasannya adalah musik dangdut lebih banyak di
gemari oleh masyarakat yang tinggal di Indonesia bagian barat. Sedang
pada kawasan bagian timur (seperti Maluku dan Papua), musik dangdut
tampaknya tak begitu digemari.“Walaupun ada dangdut di Maluku, namun tidak begitu populer,” jelasnya. Musik dangdut saat ini memang mengalami masa pasang surut. Pasalnya sebagian masyarakat sekarang lebih menyukai musik dengan jenis jazz, rock bahkan hip hop (oktomagazine.com).
Jadi, justru dari hasil penelitian Andrew Weintraub
itu membuktikan bahwa musik dangdut masih belum bisa diterima oleh
seluruh lapisan masyarakat Indonesia sendiri. Mereka kebanyakan lebih
suka musik sejenis (pop), jazz, rock, bahkan hip hop. Musik
dangdut, meskipun populer di Indonesia, tetapi tidak berarti bisa
diterima atau populer juga di wilayah Indonesia lainnya. Terutama di
belahan Indonesia timur, seperti Maluku dan Papua.
Kesimpulan itu benar adanya, musik
dangdut memang kurang mendapat tempat di Maluku dan Papua. Maluku dan
Papua mempunyai ciri khas musik sendiri, yang irama dan goyangannya
lebih semangat dan enerjik daripada dangdut.
Nah, kalau di dalam negerinya saja
sendiri dangdut belum bisa diterima sepenuhnya di seluruh wilayah di
Indonesia, bisakah dangdut mengdunia seperti Gangnam Style-nya Psy dari
Korea Selatan itu?
Seandainya pun benar, apa yang
dikatakan oleh Rhoma Irama itu bahwa musik dangdut saat ini sedang
dipelajari di ratusan akademi musik di seluruh dunia, maka hendaknya
Rhoma paham, bahwa itu tidak berarti samadengan musik dangdut akan bisa
populer di dalam prakteknya di dunia hiburan. Penelitian-peneltian itu
hanya menjadikan dangdut sebagai bahan penelitian ilmiahnya. Bukan untuk
dunia hiburan, seperti Gangnam Style, dan lain-lain. Dunia
penelitian/ilmiah berbeda dengan dunia hiburan.
Gangnam Style boleh-boleh saja
begitu sangat populer, dan mendunia, tetapi tidak berarti musik asli
Korea juga mampu seterkenal Gangnam Style itu sendiri.
Sama halnya dengan, di sebuah
museum di Washington, yakni Smithsonian Musuem, yang antara lain
mengoleksi seluruh sejarah musik yang ada di dunia, ternyata nama si
Raja Dangdut (The King of Dangdut) Rhoma Irama dengan Grup
Soneta juga tercatat di sana. Lengkap dengan riwayat sejarahnya dan
kaset dan koleksi lagu-lagunya. Ketika berkunjung di sana, pada Oktober
2008 itu, Rhoma mengaku kaget dan terharu, tidak menduga kalau namanya
juga tercatat di museum itu.
Semua itu tidak pararel dengan
dunia hiburan. Penelitian terhadap suatu musik, tidak berarti yang
diteliti, termasuk tokoh-tokohnya lalu akan bisa juga diterima di dunia
hiburannya.
Rhoma Irama bukan belum
pernah mencoba mengdunia dengan musik dangdutnya. Khususnya dengan
lagu-lagu dangdutnya yang membuatnya sangat terkenal di Indonesia.
Seperti, Darah Muda, Begadang, Terlalu, dan lain-lain.
Berkat jasa Profesor Andrew
Weintraub itulah Rhoma bersama Grup Soneta-nya pernah mengadakan konser
dangdut di kota Pittsburgh dan Washington DC, Amerika Serikat, pada
Oktober 2008. Memang pertunjukkannya itu cukup menarik perhatian
penonton. Bahkan di Washington, katanya, karcis yang dijual sebanyak 250
lembar habis terjual. Tetapi, ternyata sebagian besar penontonnya itu
adalah orang Indonesia sendiri yang berada di sana.
Dengan kata lain, sejujurnya,
konser dangdut Rhoma Irama di Amerika itu gagal menarik perhatian publik
Negeri Paman Sam itu. Maaf, saja kalau saya bilang, bagaimana bisa
pertunjukan musik itu menarik publik di sana kalau gaya dan aksi Rhoma
Irama dengan grupnya itu tak beda jauh dengan gaya mereka di tahun
1970-an.
Konser Rhoma Irama di Pittsburgh, 11 Oktober 2008, bisa anda lihat di sini, dan di Washington, pada 13 Oktober 2008 di sini.
Pertunjukan dangdut Rhoma Irama di
Pittsburgh dan Washington juga sudah diunggah di Youtube. Untuk yang di
Pittsburgh, sampai hari ini, 26 November 2012, empat tahun kemudian,
jumlah orang yang melihat video musik tersebut hanya 153.732 kali.
Sedangkan yang di Washington, diunggah pada 15 Oktober 2008, baru
dilihat 57.588 kali. Itu pun sebagian besar dari Indonesia. Sangat tidak
pantas dibandingkan dengan Psy dengan Gangnam Style.
Dengan fenomena seperti ini,sekali
lagi, saya bilang bahwa pernyataan Rhoma Irama tentang keyakinan musik
dangdut bisa mengalahkan musik-musik tren dunia, termasuk Gangnam Style
itu, merupakan pernyataan yang berdasarkan rasa percaya diri yang
terlalu berlebihan, dan tidak realistis.